TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Meski bangsa
ini telah 67 tahun merdeka dan telah memperoleh berbagai capaian yang
signifikan di berbagai bidang, namun persoalan kemanusiaan, sebagaimana
juga dialami berbagai bangsa di dunia, masih dirasakan, utamanya
persoalan kemiskinan yang masih masih terus dirasakan.
"Persoalan kemiskinan ini kemudian menjadi terderivasi ke dalam
berbagai persoalan lainnya seperti berbagai tindak kejahatan, kebodohan,
pengangguran, korupsi, dan penyakit moral-sosial lainnya," kata Ketua
DPR RI Marzuki Alie, Rabu (15/8/2012).
Marzuki mengatakan, persoalan kemiskinan disini, bukan hanya yang
berkaitan dengan kesenjangan pendapatan, tetapi lebih kompleks lagi,
menyangkut masalah ketidakberdayaan, ketiadaan pengetahuan dan
ketrampilan, dan kelangkaan akses pada modal dan sumberdaya.
"Namun demikian, hendaklah dipahami bahwa kemiskinan ini juga bisa
sebagai akibat dari faktor-faktor lain yang saling berhubungan, sehingga
menimbulkan pemahaman yang krusial, mana yang lebih dahulu seperti
antara telor dan ayam, antara miskin dan bodoh,” ujar Marzuki.
Marzuki melihat setidaknya ada dua faktor utama yang menjadi penyebab
kemiskinan selain faktor bencana alam atau kemiskinan alamiah, yaitu
faktor struktural dan faktor kultural. Dalam perspektif struktural,
masyarakat menjadi miskin karena kebijakan negara yang kurang memihak
kepada masyarakat miskin. Kemiskinan terjadi karena disfungsi negara
dalam menjalankan perannya.
“Disfungsi pertama, tampak dalam hal fungsi distributif negara, yakni
bagaimana negara mengalokasikan sumberdaya, anggaran, dan kesempatan
ekonomi secara adil. Dengan fungsi distributifnya, negara mestinya
berkewajiban dalam membantu mereka yang termarjinalkan oleh mekanisme
pasar dalam kehidupan rezim ekonomi pasar dan atau rezim ekonomi yang
kapitalistis,” jelasnya.
Marzuki pun mencontohkan, berapa banyak usaha rakyat yang bangkrut
karena tidak mampu bersaing dengan barang-barang impor, baik dalam segi
kualitas maupun dari segi harga. Hampir semua potensi sumberdaya ekonomi
dikuasai para Pemilik Modal, sedangkan rakyat hanya menjadi penonton.
80% sumberdaya ekonomi dikuasai hanya 20% Pemilik Modal, sedangkan 20%
sisanya diperebutkan oleh 80% rakyat Indonesia.
“Persoalan distributif negara ini lebih dominan disebabkan karena
sistem yang kolutif dan korup yang telah dipraktekkan oleh mereka yang
mempunyai kekuasaan dan kesempatan namun tidak amanah, sehingga
menimbulkan kesengsaraan yang berkelanjutan bagi masyarakat yang kurang
beruntung atau termarginalkan,” katanya.
Disfungsi yang kedua adalah disfungsi stabilitatif, dimana negara
tidak berhasil dalam menstabilkan perekonomian secara keseluruhan.
Fungsi ini menurut para pakar ekonomi publik, lahir karena bertolak pada
kenyataan bahwa para pelaku ekonomi, pada keadaan-keadaan tertentu
tidak berdaya mengatasi masalah ekonomi yang mereka hadapi, sehingga
kalau dibiarkan begitu saja akan menimbulkan instabilitas perekonomian
secara keseluruhan.
“Masalah pengangguran adalah contoh masalah yang akan menimbulkan instabilitas perekonomian," katanya.
Melihat berbagai persoalan diatas, sebagai bagian dari komponen
penting negara ini, peran lembaga DPR amat diperlukan. DPR adalah
lembaga legislatif yang memiliki kewajiban, hak dan wewenang yang diatur
oleh UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945. Sesudah amandemen UUD
1945, fungsi dan kewenangan DPR menjadi lebih kuat di bidang legislasi,
anggaran dan pengawasan, (termasuk fit and proper test terhadap beberapa
pemimpin lembaga negara).
Dengan demikian, untuk menanggulangi berbagai permasalahan bangsa
tersebut, DPR harus mengarahkan semua keputusan dan kebijakannya ke arah
yang lebih berpihak kepada kepentingan pemecahan persoalan yang sedang
dihadapi bangsa dan negara.
"Mengingat DPR terdiri dari unsur partai politik, maka Partai Politik
juga harus mengambil peran dan tanggung jawab terhadap semua kadernya
yang ditugaskan di DPR, agar menjadi bagian dari solusi terhadap
permasalahan bangsa," ujar Ketua DPR Marzuki Alie.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar